Seorang ibu duduk di ruang konseling, mata sembab, suara lelah. “Saya ingin jadi ibu yang baik, tapi setiap hari rasanya kayak medan perang.” Ia bercerita tentang anaknya, tujuh tahun, yang tiba-tiba sering menangis, menolak aturan, dan membantah setiap hal. “Kalau saya nggak marah, dia nggak denger,” katanya.
Kisah seperti ini tak asing. Di banyak keluarga Indonesia, kita dibesarkan dengan pola asuh yang menekankan kontrol: “Kalau nggak dimarahi, nanti nggak tahu salahnya,” atau “Anak harus takut dulu supaya patuh.” Tapi di balik sikap “nakal” anak, sering kali tersembunyi rasa cemas, kelelahan, atau emosi yang belum bisa diungkapkan.
"Welas asih bukan lemah—ia adalah keberanian untuk hadir sepenuhnya."
Bukan membiarkan anak melakukan apa saja, tapi mendengar, memahami, dan membimbing dengan empati.
“Kamu sedih karena mainannya rusak? Ibu ngerti… itu memang bikin kecewa.” Dengan kata-kata seperti ini, kita sedang membangun jembatan emosional—bukan menghakimi, tapi mengakui.
Disiplin bukan tentang pukulan, ancaman, atau rasa takut. Ia adalah cara membesarkan anak dengan empati, konsistensi, dan keterlibatan. Saat anak berteriak, kita tidak harus berteriak lebih keras. Kita bisa menarik napas, duduk bersamanya, dan berkata:
“Aku tahu kamu kesal. Mari kita tenang dulu, lalu bicara.”
Disiplin positif adalah seni mengajak anak belajar dari kesalahan, bukan merasa malu. Ia membangun rasa tanggung jawab, bukan rasa takut. Dan kunci utamanya? Orang tua sendiri harus menjadi teladan.
Ketika kita marah, dan memilih diam sejenak, menarik napas, lalu bicara dengan tenang—kita telah mengajarkan regulasi emosi langsung. Anak belajar bukan dari kata, tapi dari apa yang diamati.
Di kampung, di kota, di rumah-rumah biasa—kita bisa menjaga wibawa sebagai orang tua, tanpa harus menakut-nakuti. Dengan bahasa tubuh lembut, ritual kecil seperti makan bersama, atau menanyakan hari anak—kita sedang membangun ikatan yang dalam.
Karena pada akhirnya, anak tak akan ingat seberapa keras kita menghukumnya.
“Tapi mereka akan selalu ingat bagaimana kita membuat mereka merasa: dilihat, didengar, dan dicintai.”
Dan itu, adalah bentuk cinta yang paling kuat.