Dari sekolah sampai kuliah, aku tumbuh di lingkungan yang memuja kesibukan. Semakin sibuk, semakin hebat. Aku pun terbiasa mengisi hari dengan tugas, organisasi, dan proyek. Istirahat terasa seperti kesalahan.
“Aku merasa berharga hanya kalau aku sibuk.”
Tapi tubuhku mulai protes. Sakit kepala, susah tidur, cemas tanpa sebab. Saat ujian, aku terlalu sakit untuk fokus, tapi tetap memaksa datang. Hasilnya jauh dari maksimal. Semua yang dulu terasa membanggakan, kini terasa kosong.
“Aku tidak tahu lagi apa yang sebenarnya aku kejar.”
Temanku menyarankan konseling. Awalnya ragu, tapi akhirnya aku datang. Saat ditanya kenapa aku capek, aku hanya bisa menjawab, “Aku takut tertinggal.” Konselorku bertanya, “Sebenarnya, kamu sedang ngejar apa?”
Pertanyaan itu membuatku sadar: aku tidak tahu. Aku hanya berusaha membuktikan sesuatu, entah kepada siapa.
“Aku mulai belajar bahwa istirahat bukan berarti aku malas.”
Kini, aku mulai memberi waktu untuk diriku sendiri. Jalan sore, tidur lebih awal, makan teratur. Kadang rasa bersalah masih datang, tapi aku belajar menenangkan diri. Aku tulis di dinding kamarku: “Istirahat bukan berarti aku malas.”
Hari ini, aku tahu kapan harus berhenti. Aku tidak menunggu tubuhku menyerah. Aku tidak perlu membuktikan apa-apa untuk merasa cukup.
By Alisha Ardelia