Pernah nggak kamu menolak ajakan, melewatkan nongkrong, atau menolak bantuan karena ingin menjaga diri? Lalu tiba-tiba muncul rasa bersalah: “Apa aku egois?”
Kita sering dibesarkan dengan pemahaman bahwa selalu mengutamakan orang lain adalah baik—sementara memikirkan diri sendiri dianggap egois. Padahal, menjaga batasan bukan berarti menolak cinta, tapi justru bentuk cinta pada diri sendiri yang sehat.
Rasa bersalah sering datang dari stigma sosial, atau dari perasaan internal: "Kalau aku menolak, orang akan kecewa." Tapi di balik rasa bersalah itu, ada kebutuhan yang perlu diakui: kelelahan, butuh ruang, atau sekadar ingin istirahat.
“Mengutamakan diri bukan tentang memanjakan diri—tapi tentang mengisi baterai agar bisa memberi dengan tulus.”
Mirip dengan mengisi baterai ponsel, kita perlu istirahat agar tetap berfungsi. Tanpa itu, kita tidak bisa membantu siapa pun. Kadang, "tidak" yang tulus justru lebih menyelamatkan hubungan daripada "ya" yang dipaksakan.
“Katakan ‘tidak’ tanpa rasa bersalah berlebihan—karena menolak adalah bentuk tanggung jawab terhadap dirimu sendiri.”
Self-love yang sehat bukan tentang selalu memilih yang enak. Ia tentang mengetahui batas, mengakui kebutuhan, dan menolong diri sendiri tanpa rasa bersalah. Saat kamu memilih untuk tetap di rumah, menahan diri dari drama orang lain, atau sekadar duduk diam—itu bukan kelemahan. Itu keberanian untuk bersikap jujur pada diri sendiri.
Ketika kita belajar menghargai waktu istirahat, ruang pribadi, dan keputusan pribadi—kita justru menjadi manusia yang lebih utuh, lebih hadir, dan lebih bisa memberikan cinta yang tulus.
Sebab, yang paling penting dalam hidup bukanlah seberapa banyak kamu memberi—tapi apakah kamu masih punya energi untuk terus memberi?