Ada masa-masa ketika kita dihadapkan pada pilihan sulit, lebih baik bertahan atau melepaskan? Entah itu dalam hubungan percintaan, persahabatan, atau bahkan pekerjaan, dilema ini selalu terasa berat. Karena keputusan itu bukan hanya soal orang lain tapi juga soal bagaimana kita menilai diri sendiri.
Bertahan seringkali terasa lebih aman. Ada rasa familiar, kenangan yang sudah terlanjur dalam, atau harapan bahwa keadaan akan membaik jika kita terus berusaha. Tapi bertahan juga bisa berarti menahan rasa sakit atau mengorbankan bagian dari diri kita yang sebenarnya ingin bebas.
Di sisi lain, melepaskan tidak kalah menakutkan. Ada rasa takut kehilangan, takut menyesal, atau takut tidak menemukan sesuatu yang lebih baik setelahnya. Melepaskan berarti menghadapi ruang kosong yang sebelumnya diisi oleh hubungan atau kebiasaan yang sudah lama kita jalani.
“Kadang yang bikin berat bukan pilihan bertahan atau melepaskan tapi ketakutan akan kehilangan rasa aman yang sudah kita kenal.”
Lalu, bagaimana kita tahu harus memilih yang mana? Tidak ada jawaban yang benar-benar universal. Tapi satu hal yang pasti bahwa keputusan terbaik biasanya adalah yang tetap memberi ruang bagi diri kita untuk tumbuh. Kalau bertahan membuat kita terjebak, mungkin melepaskan adalah jalan yang lebih sehat. Tapi kalau melepaskan terasa hanya karena emosi sesaat, mungkin bertahan masih layak dicoba.
Pada akhirnya, entah bertahan atau melepaskan, keduanya butuh keberanian. Bertahan butuh usaha untuk memperbaiki, sementara melepaskan butuh keyakinan untuk melangkah.