Ada masa di mana aku merasa sangat lelah, tapi tak tahu harus bagaimana. Rasanya seperti tersesat di dalam diri sendiri. Padahal aku mahasiswa psikologi. Bukankah aku seharusnya tahu cara mengatasinya?
“Menjadi mahasiswa psikologi tidak membuatku kebal dari luka, trauma, atau tekanan.”
Saat dorongan untuk mencari bantuan muncul, pikiranku dipenuhi pertanyaan: “Masa anak psikologi ke psikolog?” “Apa kata orang?” Aku merasa gagal, karena ilmu yang kupelajari tak cukup meredakan gelombang kecemasan dan kelelahan batin.
Aku mencoba menolong diri sendiri dengan berbagai cara—membaca ulang materi kuliah, buku self-help, dan mendengarkan podcast. Tapi semakin keras aku berusaha, semakin aku merasa sendirian.
“Aku juga manusia biasa yang butuh didengar dan dipahami.”
Akhirnya, aku memberanikan diri mendaftar konsultasi. Tanganku gemetar saat mengisi form, bukan karena takut psikolog, tapi karena harus jujur pada diri sendiri: aku sedang tidak baik-baik saja. Saat konsultasi, aku sadar: aku manusia.
Banyak yang kira ke psikolog itu solusi instan. Nyatanya, prosesnya pelan dan penuh refleksi. Tapi kali ini aku tidak sendiri. Ada seseorang yang membantuku melihat sudut gelap pikiranku.
“Mengetahui teori bukan berarti kamu tidak boleh merasa lelah. Bahkan dokter pun bisa sakit. Bahkan terapis pun punya terapis. Kamu tetap manusia.”
Kalimat itu membuatku merasa bebas. Beban untuk selalu kuat dan tahu sedikit demi sedikit terlepas.
Aku sadar, mencari bantuan bukan tanda kegagalan, tapi keberanian. Mengelola emosi bukan berarti tak pernah marah atau sedih, tapi bagaimana memprosesnya tanpa menyakiti diri sendiri atau orang lain.
Kini aku belajar memberi ruang untuk gagal, menangis, dan tetap merasa berharga.
Kalau kamu lelah dan ragu mencari bantuan, ingat, kamu tidak sendirian. Kita semua manusia yang berhak mendapatkan bantuan.