Aku masih ingat jelas saat tubuhku mulai jadi bahan olokan. Berat badan naik lebih cepat dari teman-teman, dan komentar mulai berdatangan:
“Eh, jangan kebanyakan makan nanti meledak,”
“Duh, sempit nih tempat duduknya, badan kamu kebesaran sih.”
Kalimat itu, meski dianggap lucu oleh sebagian orang, merusak rasa percaya diriku. Aku mulai percaya tubuhku adalah kesalahan, bahwa angka di timbangan menentukan nilai diriku sebagai perempuan. Ada yang bercanda, ada yang menyuruh diet, ada pula yang menatapku penuh penilaian. Padahal aku sehat, tanpa masalah medis. Tapi karena tubuhku tak sesuai standar ‘ideal’, aku dianggap malas dan tidak menarik.
“Tubuhmu adalah rumahmu. Ia layak disayangi, tidak peduli bagaimana bentuknya.”
Seiring waktu, aku takut bercermin, membenci pantulan tubuhku sendiri. Aku selalu berdiri di belakang saat berfoto, merasa tidak cukup baik. Ketika mencoba menurunkan berat badan, pujian tak pernah datang. “Masih gemuk,” “Paling juga naik lagi.” Aku hidup dalam ketakutan, berpikir kalau belum kurus, aku belum layak dicintai, bahkan oleh diriku sendiri.
Di titik terendah, aku duduk di depan cermin, bertanya, “Sampai kapan aku harus membenci diriku sendiri hanya karena tidak memenuhi standar orang lain?” Aku ingin hidup damai, bukan terjebak ketakutan. Aku mulai membongkar keyakinan lama: bahwa hanya tubuh kurus yang cantik, bahwa tubuh gemuk tak layak dicintai, bahwa ukuran menentukan nilai. Semua itu bohong.
“Aku berhak hidup di tubuh ini.”
Aku membaca tentang body positivity, belajar bahwa tubuhku bukan musuh, tapi rumahku. Ia saksi perjuangan, tawa, tangis, dan pertumbuhan. Aku mengganti kalimat negatif di kepala dengan kasih sayang. Aku belajar melihat tubuh dari fungsinya, bukan hanya penampilan.
Aku juga belajar bersikap tegas. Kepada orang terdekat, aku bilang, “Tolong jangan komentari bentuk tubuhku. Aku sedang belajar berdamai dengannya.” Banyak yang mengerti setelah diingatkan. Yang paling sulit bukan berdamai dengan orang lain, tapi dengan diri sendiri.
“Aku tidak harus sempurna untuk layak dicintai.”
Mencintai diri tidak berarti menyukai setiap bagian tubuh. Kadang aku masih merasa tidak percaya diri, tapi aku tidak menyalahkan diri atas perasaan itu. Aku menerima bahwa proses pemulihan tidak linear. Aku mulai menulis jurnal syukur, memotret diri dari sudut yang membuatku bahagia, dan mengenakan pakaian nyaman.
Hari ini, cara pandangku terhadap tubuhku berubah sepenuhnya. Aku berdiri di depan cermin dan berkata, “Terima kasih, tubuhku. Aku bersyukur memiliki kamu.” Cinta yang dulu hilang kini tumbuh kembali—cinta tanpa syarat, tanpa ukuran, tanpa angka di timbangan.
“Tubuh ini sudah cukup, dan selalu cukup.”
Tubuhmu adalah rumahmu. Ia layak disayangi, tidak peduli bentuknya. Kamu tidak harus mengubah tubuhmu untuk layak diterima. Kamu hanya perlu berdamai dengan dirimu dan mulai mencintai rumah yang telah lama menunggu untuk dipeluk.